“Tentu saja. Aku adalah
wanita yang kamu cintai, Sachy.”
Hari ini
berjalan seperti biasanya meskipun matahari tidak secerah hari-hari kemarin,
tapi semua aktifitas tampak berjalan dengan normal. Jalan-jalan raya tetaplah
padat dan kemacetan selalu menjadi pelengkap, anak-anak sekolah dengan seragam
mereka masing-masing tampak bergegas menuju sekolah mereka, para pedagang di
pinggiran jalan sibuk menawari dagangannya kepada orang-orang yang berjalan di
trotoar dan masih banyak manusia-manusia lainnya yang sibuk dengan aktifitas
mereka masing-masing.
Tapi
tetap saja sekian dari sejuta manusia diluar sana yang sedang sibuk menjalani
hari mereka, ada beberapa manusia yang justru tidak tahu harus melakukan apa.
Mereka bingung karena sebenarnya mereka tidak memiliki pekerjaan. Inilah yang
dinamakan ‘Pengangguran Sejati’ dan Sachy, termasuk di dalamnya.
Sachy
mematikan televisi yang sedang ditontonnya, baginya acara di Televisi sama
sekali tidak ada yang menarik. Sachy menghembuskan nafas kesal, dia dalam kondisi
yang teramat boring sekarang. Sachy
berjalan gontai menuju dapurnya, dan mengambil satu cangkir yang berada di rak
lemari dapurnya. 5 menit kemudian Sachy keluar dari dapurnya dan kembali ke
tempat duduknya semula, tentu saja dengan secangkir kopi buatannya yang masih
dengan asap yang mengepul.
Sachy
menyeruput kopinya, kemudian dia membuang pandangannya ke jendela besar yang
berada di belakang sofa yang sedang ia duduki. Terlihat jelas keramaian kota
yang terbentang di bawah apartemennya yang setinggi 25 meter ini. Sachy
mengamati hilir mudik kendaraan yang tidak ada habis-habisnya itu dan baru ia
sadari betapa kotornya udara di jalanan. Asap-asap tebal berterbangan
kesana-kemari, polusi yang mengandung racun terpaksa dihirup oleh orang-orang
yang berada di kendaraan yang tidak memiliki kaca sebagai temeng seperti
angkot, becak, bis, bis tuyul, bajaj, dll.
Sachy
kembali menyeruput secangkir kopi yang masih ia pegang, kini pikirannya
teralihkan. Tiba-tiba saja kata-kata gadis itu kembali terngiang.
“Tentu saja. Aku adalah wanita yang kamu
cintai, Sachy.”
Masih
lekat di benak Sachy bahkan seperti masih jelas di depan mata Sachy bagaimana
ekspresi gadis itu, tatapannya, dan kesungguhannya saat mengucapkan kata itu.
Kata itu bak mantra yang membuat Sachy seperti kehilangan kesadarannya bahkan
Sachy seperti tidak menginjak bumi saking terkejutnya ia. Sebenarnya ada
perasaan yang menggelitik Sachy dan membuatnya penasaran. Tapi Sachy sendiri
tidak tahu seperti apa jelasnya perasaan itu.
Lalu
tiba-tiba sebuah ide muncul di otaknya. Langsung saja tubuh Sachy menerima
rangsangan itu sebagai sebuah perintah, secara reflek Sachypun menaruh
cangkirnya, lalu berdiri, beranjak mengambil jaketnya, HP, dan kunci mobil.
Tidak
beberapa lama kemudian Sachypun siap melesat meninggalkan apartemennya.
***
Mata
Nala membulat melihat pemandangan yang sedang ada di depannya. Sebuah mobil
sport putih bermerek Pagero terparkir
dengan manis di depannya tetapi bukan mobil itu yang membuat Nala terkejut
melainkan pengemudinya. Pengemudi yang menggunakan jaket kulit berwarna hitam,
dengan topi di atas kepalanya dan sebuah kaca mata hitam yang menutupi sebagian
wajahnya. Pengemudi itu sedang berdiri di depan pintu mobilnya sembari
menyilakan ke dua tangannya, tentu saja tidak ketinggalan : gaya sok cool.
Kening
Nala berkerut 3 lapis. Ia memandangi orang itu dan coba memastikan apakah ia
benar-benar tidak salah lihat. Setelah dirasa bahwa memang ini kenyataan,
tiba-tiba saja Nala tertawa. Tawanya itu pecah tanpa bisa ia kendalikan.
“Apakah
ada yang lucu?” Tanya pengemudi itu yang tidak lain adalah Sachy. Sachy
benar-benar heran dengan tingkah Nala yang tertawa seolah-olah ia tertawa
karena melihat badut Ancol.
“Adaa!!
Hahaha! Adaa!” Jawab Nala masih dengan tawanya, ia memegang perutnya yang mulai
kesakitan karena tawanya di atas normal.
Melihat
Nala yang tidak berhenti tertawa, Sachy pun akhirnya diam. Dia merasa dirinya
sudah dihinakan oleh Nala secara tidak langsung.
Nala
yang sadar bahwa Sachy mulai sebal, langsung berusaha menghentikan tawanya.
“Kamu
ngapain ada disini?” Tanya Nala setelah ia berusaha mati-matian menghentikan
tawanya, tapi meskipun begitu Nala tetap saja keceplosan tertawa.
“Ada
sesuatu yang membuatku penasaran.” Jawab Sachy berusaha tidak mempedulikan tawa
Nala.
Nala
memiringkan kepalanya, “Apa?” Tanyanya lagi.
Sachy
menatap Nala lurus, “Kalau benar aku mencintaimu, mengapa aku bisa
melupakanmu?” Ujar Sachy dengan ekspresi datar. Nala langsung tersontak
mendengarnya, tawanya langsung hilang seketika.
“Hm..itu...itu...”
Nala mendadak tidak bisa berkata. Dia kebingungan mencari jawabannya. Sachy
yang melihat kebingungan di wajah Nala, menaruh tangannya di saku celananya
sembari menghembuskan nafas.
Nala
melihat ada senyum sinis dari wajah Sachy, tapi ia juga tidak tahu harus
melakukan apa.
“Semua
ini salahku.” Ucap Nala akhirnya. Nala menundukkan wajahnya, tiba-tiba saja ada
air mata jatuh dari kelopak matanya. “Benar! Ini memang salahku. Jika saja
waktu itu aku tidak melepaskanmu dan menerimamu..mungkin semua ini tidak akan
terjadi.” Lanjut Nala lagi masih menunduk.
Sachy
yang sadar suasananya telah berubah, merasa tidak nyaman. “Sudahlah..” Tanpa
Sachy sadari, ia merasa tidak suka melihat gadis itu menangis di depannya.
***
Keesokan harinya..
Sachy
datang lagi ke tempat Nala. Masih dengan mobil yang sama, pakaian yang sama,
dan juga gaya sok coolnya (berdiri di depan pintu mobil sembari menyilakan
tangannya).
Kali ini
Nala melihat Sachy dengan perasaan sedikit takut, tidak ada sama sekali
perasaan dirinya ingin tertawa. “Apa lagi yang membuatmu penasaran?” Tanya Nala
sedikit gugup.
Sachy
yang melihat ketakutan yang jelas di mata Nala merasa sedikit bersalah atas
kejadian kemarin. Ia berfikir mungkin tak seharusnya ia bertanya seperti itu.
Sachy menurunkan tangannya dan menjawab, “Tidak ada.”
Nala
menatap tidak percaya, dan dengan tanpa suara Nala bertanya, “Lalu?”
“Aku
kesini ingin meminta bantuan padamu.” Ucap Sachy seolah tahu pertanyaan Nala
barusan.
“Bantuan?”
Nala mengulang kembali ucapan Sachy. Nala tidak percaya bahwa Sachy meminta
bantuan kepadanya.
Sachy
yang menangkap ketidak percayaan dari raut wajah Nala hanya bisa menggaruk
kepalanya yang sebenarnya tidak gatal, “Sebenarnya aku sedang sangaaattt
bosan.” Ujar Sachy memulai memberitahukan alasannya. Sachy mengatakannya dengan
pelan-pelan, Nala pun hanya bisa menunggu dengan diam.
“Aku..”
Sachy memijat hidungnya tanpa sebab, sebenarnya dia sedikit malu untuk
mengatakannya. “Aku..ingin pergi ke suatu tempat. Apa kau tahu tempat yang
bagus untuk ku datangi?” Ujar Sachy akhirnya memberitahukan alasannya yang
sebenarnya. Sebenarnya Sachy tidak mempunyai pilihan lain selain Nala, alasanya
karena yang dekat dengan ia adalah Tere dan Nala meskipun sebenarnya banyak
orang yang ia kenal tapi dia merasa tidak bisa meminta bantuan kepada mereka,
dan lagian ingatannya belum kembali
pulih dia takut dia malah merepotkan orang.
Sachy
selesai dengan ucapannya tapi Nala malah tampak mematung di tempatnya. Sachy
sampai bingung melihat ekspresi Nala, dia takut dia membuat kesalahan lagi.
“Nala, are you ok?” Tanya Sachy dengan kawatir.
Sedetik
kemudian Nala langsung tersadar. Dia menatap Sachy dengan tatapan berkaca-kaca.
Susah baginya untuk mengeluarkan kata-kata jadi yang bisa ia lakukan
adalah..mengangguk. Ya! Mengangguk itu tandanya mau.
“Iya..
iya..ngangguknya sekali aja cukup kok.” Ujar Sachy lagi karena melihat Nala
yang terus-terusan mengangguk. Sachy tidak tahu bahwa itu tandanya Nala mau
banget dan lebih dari itu..Nala sangat bahagia.
***
Tujuan
pertama Nala adalah Dunia Fantasy. Sebenarnya Nala sangat berharap semoga
kencan tidak langsungnya ini bisa memberikan sedikit ingatan untuk Sachy. Tapi
sayangnya sampai mereka mau pulang pun Sachy tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa
ia mengingat sesuatu.
Nala pun
memutarkan kembali otaknya, tiba-tiba Nala punya ide. Meskipun idenya ini
menurutnya begitu nekat dan ekstrem baginya tapi apapun dia lakukan demi Sachy.
“Sachy..
ayo kita naik tornado. Oya, abis itu kita naik Halilintar, Histeria,
Kincir-kincir dan Kora-Kora” Ujar Nala mengajak Sachy.
“Apa?
Yakin kamu kuat?” Tanya Sachy tidak yakin bahwa Nala sanggup melakukan itu
karena naik Bianglala aja Nala udah ketakutan. Sachy bisa lihat wajahnya pucat
pasi saat BiangLala berada di paling atas.
Di tanya
seperti itu Nala akui diapun tidak yakin bahwa dia akan kuat, tapi lagi-lagi
cinta itu memberikannya semangat, “Insya Allah.”
***
Dan
inilah hasilnya.. “WOEK...WOEK...” Nala tidak bisa membendung dirinya lagi
untuk mengeluarkan semua isi perutnya.
“Nala..are
you ok? ” Ujar Sachy kawatir. Sachy tidak tahu bahwa inilah yang Nala inginkan.
Nala masih ingat bagaimana paniknya Sachy dulu bahkan Sachy sampai menggendong
Nala. Nala berharap Sachy mengingat kenangan itu..sedikit saja.
“Nala...kita
ke dokter aja, ok?” Ujar Sachy lagi. Nala langsung menggeleng. Bukan pergi ke
dokter tujuannya..
“Sachy..apa
kamu gak ingat sesuatu?” Tanya Nala dengan nada nya yang lemah.
Sachy
tampak terdiam. Wajahnya langsung berubah serius, sepertinya Sachy sedang
memikirkan sesuatu.
Sambil
menunggu..Nala berdoa semoga Sachy mengingatnya..
“No! Aku
tidak ingat apapun.” Ujar Sachy akhirnya. Nala langsung lemas seketika.
Usahanya benar-benar tidak membuahkan hasil.
“Kita
pulang aja, ok? Ayuh aku bantu kamu berdiri..” Dan Sachy pun akhirnya membawa
Nala pulang sambil membantunya berjalan.
***
“Nala
serius kamu gak apa-apa?” Tanya Sachy sekali lagi saat mereka sudah sampai di
depan rumah Nala.
“Aku gak
apa-apa.” Ujar Nala dengan kondisi yang sangat lemah. Nala menggigit bibirnya.
Sebenarnya bukan mual ini yang membuatnya lemah tapi usahanya yang ingin
membuat Sachy kembali mengingat semua kenangan indah mereka berdua ternyata
tidak membuahkan hasil itulah yang membuat semangatnya hilang.
“Thanks
yah..udah anterin aku. Sampai jumpa lagi. Bye.” Dan Nala berpamitan sebelum ia
membuka pintu mobil. Sachy memandangi Nala sekilas sebelum akhirnya Sachy
melambaikan tangannya dan kembali menjalankan mobilnya.
Tapi
tiba-tiba saja...
Mobil
Sachy berjalan mundur. Nala yang saat itu hampir masuk ke dalam pagar rumahnya
tiba-tiba ada yang menarik tangannya kemudian dengan sekedipan mata sebuah
ciuman mendarat di keningnya.
Susah
untuk Nala mengerti kejadian yang baru saja ia alami karena tiba-tiba saja
otaknya konslet. Nala mematung di tempatnya.
“Maaf
Nala.. tiba-tiba saja aku ingin melakukan itu. Maaf yah?” Sachy mengucapkan
kata maaf pada Nala karena dia telah berbuat tidak sopan. Sachy tidak tahu
kenapa dia tiba-tiba melakukan itu, seperti gerak reflek menurutnya.
Nala
memegang jidatnya, berusaha meyakinkan dirinya bahwa ini tidaklah mimpi.
“Nala..kamu
marah yah? Im sorry..” Ujar Sachy lagi dengan perasaan bersalah. Bukannya
menjawab Nala justru malah memeluk Sachy. Membuat cowok itu terkejut tidak
berkedip.
***
0 komentar on "Utang Cimol Part 15"
Posting Komentar