Beberapa hari setelah kelulusan...
"Adis..aku di terima di California University" Dema memulai percakapannya dengan memberitahukan sebuah kabar, mereka berdua sedang duduk bersama di sebuah taman Kota sambil menikmati waktu sore. Saat mengatakan itu wajah Dema terlihat sangat sedih.
"Benarkah?" Mata Adis langsung membulat mendengar berita itu, "Itu bagus sekali! Itu sebuah kabar yang menggembirakan, aku ikut senang mendengarnya!" Berbanding terbalik dengan Dema, wajah Adis benar-benar bahagia. Lalu Adis mengulurkan tangannya, mengajak Dema untuk bersalaman, "Selamat yah?" Ucap Adis dengan tulus. Dema membalasnya dengan ekspresi yang biasa. Sama sekali tidak terlihat bahwa ia gembira mendapat kabar bahwa ia diterima di salah satu Universitas terbaik di Amerika itu.
Adis segera sadar bahwa Dema tampak tidak bahagia. Dengan kening berkerut, Adis mencoba bertanya tentang apa yang Dema rasakan saat ini. Bukannya menjawab, Dema justru memeluk Adis dengan tiba-tiba.
"Aku kira kita berdua bisa bersama-sama lagi, tapi ternyata..aku harus menuruti perintah Ayahku. Kau tahu?! Aku takut ketika aku disana terjadi hal buruk menimpaku karena tidak ada kamu di sisiku." Ujar Dema yang terdengar seperti menahan tangisnya. Adis tampak tertegun mendengarnya. Memang Adis dan Dema sangat berbeda jauh mengenai kepintaran dalam hal akademik, Dema termasuk anak yang sangat jenius, dia adalah murid dari kelas akselerasi. Dema selalu menduduki peringkat 3 besar di kelasnya sedangkan Adis, hanya 10 besar di kelas biasa saja tidak pernah.
Adis berusaha menghibur Dema dan menyemangatinya. "Kamu tidak boleh berfikiran seperti itu. Meskipun kita jauh tapi kita kan masih bisa berhubungan. Jangan jadikan aku penghalang dalam meraih impian terbesarmu. Lakukanlah yang terbaik untukku, oke?" Adis mengucapkan itu sungguh-sungguh dari hatinya.
"Tapi..kita jadi tidak bisa bertemu?" Dema masih memurungkan wajahnya. Adis melepaskan pelukan Dema, dia memperlihatkan wajah kesal seolah dia marah gara-gara ucapan Dema barusan.
"Kita hanya berpisah selama beberapa tahun, apa mungkin kamu mau melepaskan kesempatan emas ini hanya karena takut tidak bisa melihatku selama beberapa tahun saja?" Ujar Adis kesal. Dema hanya diam, dia tidak berani menjawab lagi.
"Belajarlah dengan sungguh-sungguh disana, aku akan selalu mendukungmu disini. Meskipun kita jauh, aku janji akan selalu menemanimu kapan saja, begitu juga denganmu, kau juga akan tetap menemaniku kapan saja." Adis mengulurkan jari kelingkingnya, berharap perjanjian ini bisa disepakati bersama dan sebagai bukti resmi. Meskipun masih dengan perasaan enggan, Dema pun akhirnya mengulurkan jari kelingkingnya dan menautkannya dengan jari kelingking Adis. Sekarang perjanjian mereka telah resmi, mereka berduapun tersenyum bersama.
***
"APA?" Adis hampir saja menjatuhkan cangkir kosong bekas coklat panasnya tadi dengan sikutnya yang tiba-tiba melemas dan terjatuh begitu saja di atas meja.
Adis seperti sedang tersambar petir sekarang, dia benar-benar syock mendengar kabar dari Joo barusan. Dengan bibir yang bergetar, Adis mencoba bertanya ulang, "Apa kamu bilang? Dema sakit?" Berharap dia tidak pernah mendengarnya atau dia salah dengar, tapi itu tidak terjadi karena Joo menjawab dengan anggukan. Wajah Joo pun kini tampak murung, Joo seperti seseorang yang kehabisan tenaga.
"Sakit apa? Lalu..." Mata Adis mulai berkaca-kaca, "Kenapa dia tidak menceritakannya padaku?" Adis pun seperti kehilangan semua tenaganya, terlalu banyak keterkejutan yang ia alami hari ini. Entahlah, apakah ia masih bisa bertahan untuk tidak pingsan karena jantungnya seperti akan copot sekarang.
"Dia... mengalami kecelakaan di Las Vegas." Ucap Joo mengatakan yang sebenarnya kepada Adis. "Tangannya patah." Lanjut Joo lagi dengan wajah yang tertunduk.
"Benarkah? Lalu...kenapa dia tidak memberitahukannya padaku?" Tanya Adis lagi yang sudah menjatuhkan air matanya.
"Dia tidak ingin kamu tahu."
"Karena dia tidak mau aku kawatir padanya?" Tebak Adis dengan mudah. Joo mengangguk. "Bodoh!" Adis langsung mengumpat. Dan seolah menjadi lampu yang bersinar terang, Adis langsung dapat menerka tentang kejadian yang sebenarnya dan inilah yang dimaksud Joo dengan ia yang dapat menemukan alasannya, "Jadi karena ia tidak mau aku kawatir, dia tidak mau menceritakannya padaku. Karena itu jugalah akhirnya dia menyuruhmu untuk menggantikannya membalas pesanku?" Tanya Adis meminta pembenaran, dan Joo pun lagi-lagi mengangguk.
"Tapi terkadang dia sendiri yang membalas pesanmu meskipun dia harus menggunakan tangan kirinya dan tampak kesusahan" Ujar Joo sambil menegakkan kepalanya sedikit, "dia benar-benar tidak ingin kamu sedih." Joo menatap Adis dengan pandangan lurus.
"Kapan kejadian itu terjadi?" Tanya Adis lagi masih dengan wajah sedih yang mengeluarkan air mata.
"Sekitar 3 bulan yang lalu." Jawab Joo langsung. Mengetahui bahwa kejadian itu sudah lumayan lama, ada sedikit rasa lega di hati Adis, dia berfikir mungkin kondisi Dema sekarang sudah membaik.
"Dema benar-benar keterlaluan! Seharusnya dia menceritakannya padaku, agar aku bisa menemaninya. Kalau aku kawatir, bukankah itu hal yang wajar. Seperti ini justru membuatku lebih sedih." Ujar Adis mencoba mengungkapkan perasaannya sekarang, sayangnya Dema tidak mendengarnya.
"Lalu kenapa kamu bisa janjian denganku? Apa Dema yang menyuruhmu?" Tanya Adis lagi kembali ke masalah yang tadi. Joo tampak menghela nafas, dia menatap ke sekelilingnya berharap ia memiliki waktu untuk beristirahat sebentar saja.
"Helllooooo.." Adis tampak kesal, melihat Joo yang lama menjawab pertanyaannya.
Joo masih menatap ke sekelilingnya saat ia mengatakan, "ceritaku belum selesai sampai disitu. Apa kau pikir keadaan Dema sudah membaik? Meskipun tangannya patah, Dema berusaha untuk tetap membalas pesanmu, hanya saat ia benar-benar tidak bisa, baru ia memintaku dan itu hanya untuk mengetiknya saja. Tapi.." Joo menolehkan pandangannya, menatap Adis dengan amat tajam, "Sudah dua minggu ini Dema tidak membalas pesanmu, semuanya akulah yang membalas bukan hanya mengetik, semua itu murni aku yang menulis."
***
Gantian Adis yang menatap Joo dengan tajam, ada keheningan yang menyeruak di antara mereka, 1 menit... 5 menit mereka masih sama-sama diam, mereka sibuk dengan pikiran mereka masing-masing, baru menit ke-7 Adis membuka suaranya, "maksudnya?" Kening Adis kembali berkerut. Joo menghela nafas.
Sebenarnya Adis paham dengan apa yang diucapkan Joo barusan, tapi dia tidak ingin melanjutkan pikirannya dengan pikiran yang tidak-tidak, "Tolong katakan kepadaku dengan sejelas-jelasnya!" Pinta Adis masih dengan tatapan tajamnya. Lebih baik Joo mengatakan semuanya dengan jelas daripada dia disuruh menerka tentang kejadian yang sebenarnya.
"Dengan sesingkat-singkatnya?" Tanya Joo melengkapi, Adis menggeleng, "Dengan sedetail-detailnya" Jawab Adis, kali ini wajahnya sangat serius.
"Ada syaratnya!" Ujar Joo lagi, Adis bertanya "apa" dengan bahasa isyarat, " Kau tidak boleh bicara, kau hanya diam dan mendengarkan aku." Adis mengangguk.
"Mungkin ini akan membuatmu sangat tergoncang" Ujar Joo lagi, Adis sedikit tersentak. Tanpa sadar dia menelan ludahnya, sepertinya dia tidak siap.. tapi lidahnya terkunci, dia tidak bisa bicara, sudah terlambat, Joopun memulai ceritanya...
" Dimulai dari..."
0 komentar on "Lover Chocholate Caffe Part 3"
Posting Komentar